Thursday, July 31, 2025
More

    Latest Posts

    Sidang Pajak Gugatan dan Banding PT Windumas Inti Niaga, Saksi Ahli: Majelis Hakim Bukan ‘Corong’ UU Tapi ‘Corong’ Hukum

    Jakarta – Pada Selasa, 14 Maret 2023 sidang V Gugatan dan Banding PT Windumas Inti Niaga yang diwakili Kuasa Hukum Alessandro Rey dari Rey & Co Jakarta Attorneys at Law, dengan menghadirkan Saksi Ahli yaitu Ahli Hukum Pajak, Dr. Richard Burton SH. M. H. dalam melawan Terbanding Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang juga diwakili Kuasa Hukumnya.

    Ketua Majelis Hakim sebelum membuka sidang menanyakan kepada media yang hadir untuk meliput dengan menanyakan surat permohonan ijin meliputnya.

    Asep Erwin yang merupakan Pemimpin Redaksi MY INCOME yang hadir langsung untuk meliput menyampaikan, bahwa kami memang tidak mengajukan  surat ijin untuk meliput, namun selaku media massa ketika kami mendapat informasi yang kebetulan informasi itu disampaikan ke kami oleh Kuasa Hukum dalam perkara persidangan ini, dan pada prinsipnya siapa saja yang memberikan informasi lebih dulu ke kami selaku media massa, maka ketika informasi itu kami perlukan dan layak untuk menjadi bahan pemebritaan dan perlu diketahui oleh publik, terlebih bahwa persidangan ini terbuka untuk umum, maka untuk surat permohonan ijin meliput ini menurut kami bukan menjadi suatu keharusan, dan seharusnya kami bisa tetap meliput.

    “Iya silahkan duduk saja mendengarkan dan bisa mencatat dari jalannya persidangan, tapi tidak boleh merekam, melakukan foto-foto dan memvideokan,”ucap Ketua Majelis Hakim.

    Selanjutnya Ketua Majelis Hakim ketika mempersilahkan Saksi Ahli untuk maju menyampaikan pendapat dan gambaran tentang yang berkaitan dengan perkara persidangan, ada sesuatu yang ditunjukkan Ketua Majelis Hakim yang terkesan tidak memahami bagaimana seharusnya memperlakukan Saksi Ahli. Karena, yang terjadi Saksi Ahli tidak di sumpah terlebih dahulu dengan alasan tidak ada rohaniawannya sehingga dikatakan Ketua Majelis Hakim disumpahnya belakangan saja pada saat persidangan berikutnya. Padahal, untuk itu seharusnya sudah bisa dipersiapkan terlebihdulu. Kedua, Saksi Ahli yang memang dinyatakan independen ini tidak disediakan kursi untuk duduk di depan atau tengah persidangan, sehingga Saksi Ahli duduk justru satu meja dan disamping Kuasa Hukum Penggugat dan atau Pemohon Banding.

    Ketua Majelis Hakim mempersilahkan Saksi Ahli Richard Burton yang dihadirkan Kuasa Hukum Penggugat dan Pemohon Banding untuk memberikan gambaran secara umum tentang apa yang akan disampaikan berkaitan dengan perkara yang sedang disidangkan.

    “Perkenalkan saya Richard Burton, Peminat dan Pengkaji Masalah-Masalah Hukum Bidang Perpajakan Sekaligus Dosen Fakultas Hukum di Universitas Tarumanegara, Jakarta. Untuk menjadi Ahli pada sidang ini, saya telah menulis 7 buku bidang perpajakan dan telah menulis lebih dari 100 artikel atau opini di berbagai media massa berkaitan dengan hukum pajak,”ucap Richard.

    Kemudian dikatakan Richard, kebuntuan dalam menggunakan norma formil seperti UU dan azas hukum yang akan digunakan terkadang pernah ditemui Majelis Hakim di dalam persidangan. Jika Majelis Hakim mengalami kebingungan untuk memakai azas dan UU yang mana. Ia menyarankan agar mencari logika hukum dalam memberikan rasa keadilan, karena Majelis Hakim bukan corong UU, tapi corong hukum.

    Hal ini terungkap pada persidangan yang dilakukan pada Selasa (14/3/2023) di ruang sidang VI Majelis VII A, lantai 3, Gedung Persidangan Pajak, Jakarta. Richard Burton menjadi ahli yang dihadirkan oleh kuasa hukum Pemohon Banding PT Windumas Inti Niaga dalam melawan Terbanding yakni Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

    Alessandro Rey dari Rey & Co Jakarta Attorneys at Law sebagai Kuasa hukum Pemohon Banding PT Windumas Inti Niaga, menjelaskan pada persidangan Selasa (14/3/2023), ada dua perkara yang diperiksa untuk perkara banding, ada sembilan perkara dan perkara gugatan ada enam, jadi total 15 perkara.

    Rey menambahkan, untuk perkara banding ada tiga tambahan baru, ditambah enam perkara yang sudah diperiksa. Berkaitan dengan tiga perkara baru itu, diperiksa lagi ketentuan formalnya. Yang dipersoalkan dari ketiga perkara baru itu, berkaitan dengan pembayaran dan bukti penerimaan negara. Ada dua yang dipersoalkan dari tiga perkara baru tersebut. Dari enam perkara banding sebelumnya, hanya empat yang dipersoalkan. Jadi total yang dipersoalkan ada enam perkara, berhubungan dengan bukti penerimaan negara atau pembayaran yang dilakukan menurut Majelis yakni sebelum diajukan Pemohonan Banding.

    “Menariknya, keberatan ini sebenarnya tidak dipersoalkan oleh Terbanding, tapi dipersoalkan oleh Majelis. Pemohon sudah menyampaikan bahwa kalau majelis yang keberatan sedangkan Terbanding tidak keberatan, maka perkara ini merupakan Pemohon melawan Majelis atau pemohon malawan Terbanding? Kalau Majelis yang keberatan, kalau begitu Terbandingnya adalah Majelis Hakim. Itu tidak sesuai dengan hukum acara peradilan pajak,” ungkap Rey ketika ditemui redaksi NUSANTARAKU1.COM di ruang sidang VI, Majelis VIIA lantai 3 Gedung Pengadilan Pajak, Jakarta, Selasa (14/3/2023).

    Berkaitan dengan hukum acara, Rey menilai, Majelis mencari alasan dan Majelis seperti berpihak kepada Terbanding. Terbanding merupakan Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Pemohon melihat Majelis tidak netral, independen, merdeka, parsial dan proporsional. Hal Ini menjadi catatan dalam peradilan pajak sehingga memberikan preseden buruk bagi pengadilan pajak jika hal tersebut terus terjadi. Majelis Hakim persidangan ini diketuai oleh Tri Andrini Kusumandari, dan Majelis Hakim anggota adalah Hafsah Febrianti dan Mudji Rahardjo.

    “Majelis itu adalah pihak yang memutus dari para pihak yang berperkara. Jadi jika ada keberatan dari pemohon, maka Majelis harus memutus, begitu sebaliknya. Apakah kebaratan dikabulkan atau tidak. Namun, jika majelis yang keberatan, siapa yang akan memutus? Sedangkan Terbanding tidak keberatan. Sehingga majelis pengadilan pajak ini tidak netral,”jelas Rey.

    Sedangkan berkaitan dengan ketentuan formal. Rey menjelaskan, dari enam Penetapan Kembali Tarif dan / atau Nilai Pabean (SPKTNP) atau surat A Quo yang dipersoalkan adalah mengenai pembayaran. Lebih lanjut Rey menjelaskan, Majelis Hakim mempersoalkan pembayaran Pemohon setelah permohonan banding diajukan, padahal pembayaraan atau bukti penerimaan negara telah dilaksanakan sedangkan pembayarannya masih dalam kurun waktu 60 hari atau kurun waktu pengajuan banding.

    Rey menegaskan, secara normatif, Majelis Hakim memaksa Pemohon untuk tunduk pada Pasal 36 ayat 4 UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP). Rey sebagai kuasa hukum Pemohon menyatakan tidak sependapat dengan Majelis Hakim, alasannya karena dalam rumusan norma Pengadilan Pajak Pasal 36 ayat 4, syarat pengajuan banding adalam 50 persen, bukan 100 persen. Tapi kenapa Majelis Hakim memaksakan pembayaran 100 persen.

    “Kalau majelis memaksakan pembayaran 100 persen, maka majelis tidak menggunakan UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU PP) pasal 36 ayat 4, tapi UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) Pasal 95. Jika majelis memaksakan pembayaran harus 50 persen, maka tidak relevan,” jelasnya.

    Rey menjelaskan, berkaitan dengan waktu pembayaran, jika pembayaran dilaksanakan sebelum permohonan banding diajukan, dan tidak boleh dibayar setelah permohonan banding diajukan, maka rumusan norma kurang cermat dipahami oleh Majelis Hakim. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan ahli untuk menjelaskan. Ahli dalam persidangan ini adalah Richard Burton, Dosen di Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jakarta.

    Richard Burton menjelaskan, persidangan tadi berbicara masalah norma yang diatur dalam pasal 36 ayat 4 UU PP yang menjelaskan, apabila mau mengajukan banding harus membayar 50 persen dari pajak yang tertera. Ternyata, kasus ini merupakan persoalan bea masuk yang diatur dari UU Kepabeanan. Di UU Kepabeanan menjelaskan, jika mau mengajukan banding, itu bukan membayar 50 persen, tapi harus dilunasi artinya harus dibayar 100 persen. Jadi, ada UU yang mengatur syarat banding. Dalam kasus yang dipersoalkan di persidangan, UU mana yang akan dipilih sebagai persyaratan banding.

    “Setelah kedua norma itu dipelajari, ternyata kedua norma itu bersifat khusus, hakim mau memilih yang mana. Kalau hakim menyuruh bayar 50 persen, maka itu salah, karena itu berkaitan dengan bea masuk sesuai UU Kepabeanan. Jadi harus membayar 100 persen. Namun ketika harus membayar 100 persen, maka berkaitan dengan pengadilan pajak, sehingga hakim harus mengikuti UU PP,”jelas Richard kepada redaksi NUSANTARAKU1.COM, di Gedung Pengadilan Pajak, Jakarta, Selasa (14/3/2023).

    Lebih lanjut, Richard menjelaskan, UU PP dan UU Kepabeanan mengatur masalah banding, tapi jumlah yang dibayarnya berbeda-beda. Mana yang diikuti? Menurut Richard, keduanya bisa diikuti atau tidak. “Dalam istilah hukum ada azas lex specialis derogate legi generali. Jika ada UU yang mengatur secara khusus, maka UU yang mengatur umum tidak dipakai. Sementara UU PP dan UU Kepabeanan, mana yang bersifat khusus. Tidak jelas. Maka menggunakan azas hukum lex specialis derogate legi generali tidak tepat,”ungkapnya.

    Richard menambahkan, ada azas kedua, yaitu azas lex posterior derogate legi priori, artinya UU yang belakangan mengalahkan UU terdahulu. UU PP lahir tahun 2002, UU Kepabeanan lahir tahun 2006, dari perubahan tahun 1995. Sehingga UU Kepabeanan yang terbaru, sehingga 100 persen yang harus dibayar.

    Apakah hakim menggunakan UU Kepabeanan? Richard mengatakan, Majelis Hakim menggunakan UU PP. Ahli menilai Majelis Hakim mengalami kebingungan untuk memakai azas yang mana. Richard menyarankan agar mencari logika hukum. Richard merujuk pada UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU KUP). Menurut Richard, UU KUP sudah enam kali mengalami perubahan. Bea masuk itu pajak? Sementara Terbanding menggunakan UU Kepabeanan dengan mensyaratkan 100 persen. Sedangkan  UU KUP tidak mensyaratakan membayar 100 persen. Ada benturan kepentingan hukum sehingga sulit untuk dipilih hakim.

    “Maka saran ahli, jangan menggunakan UU PP dan UU Kepabeanan. Tapi gunakan UU KUP, karena bea masuk adalah pajak. Artinya Pemohon tidak perlu membayar. Logika hukum sebaiknya dipakai hakim untuk memutuskan perkara,”tegasnya.

    Sementara Majelis Hakim mengatakan, ruh-nya ada di UU KUP. Bea masuk itu termasuk pajak terhutang yang belum wajib terlunasi. Sehingga bukti-bukti Pemohon tidak diperlukan karena belum terhitung hutang. “ Bea masuk sama dengan pajak, belum terhutang kalau masih banding. Jadi pembayaran belum wajib dan tak ada kewajiban membayar,” kata Ketua Majelis Hakim Tri Andrini Kusumandari saat dipersidangan.

    Richard menegaskan, Majelis Hakim harus bisa mengabaikan UU PP dan UU Kepabeanan, karena Majelis Hakim bukan corong UU. Hakim harus mencari sistem hukum yang lebih besar, yakni UU KUP. Majelis bukan pejabat, tapi ranah yudikatif. Majelis hakim penegak hukum. “Hakim bukan penegak UU, tapi Penegak Hukum. Hukum pasti adil, tapi UU tidak adil. Hukum berlaku luas. Hakim harus berpikir di atas UU, karena hakim bukan birokrat,”tambahnya.

    Lebih lanjut Richard menjelaskan, Majelis Hakim telah memahami, bahwa pengertian bea masuk itu adalah pajak, sehingga pajak terhutang menjadi tertangguh dan tertunda. Sama seperti diatur dalam UU KUP. “Konsep hukum membaca UU harus jelas. Jangan hanya mengambil satu pasal saja. Perlu dilihat keterkaitannya. Itu yang disebut sistem,”tegasnya.

    Sementara Rey mengatakan, Ahli telah menjelaskan bahwa di dalam pasal 17 ayat 3 UU Kepabeanan, pembayaran dilakukan kapan saja selama selang waktu 60 hari. Pasal 17 ayat 3 tersebut juga merujuk pada SPKTNP. Dalam SPKTNP dipertegas bahwa pembayaran dilakukan kapan saja selama rentang waktu 60 hari. Dan pengajuan banding tidak diharuskan melakukan pembayaran terlebih dahulu. Pengajuan banding dapat diajukan, meski pembayaran belum dilakukan atau sudah dilakukan setelah pengajuan banding diajukan. Sehingga SPKTNP sudah sesuai dengan rumusan norma UU Kepabeanan Pasal 17 ayat 3.

    “Ahli menjelaskan, sebaiknya majelis tidak menghukum pada UU PP dan UU Kepabeanan, tapi pada sistem norma yang lebih besar yakni UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU KUP). UU KUP merupakan UU yang dinamis karena sudah tujuh kali mengalami perubahan. UU KUP merupakah hukum yang lebih besar ketimbang UU PP dan UU Kepabeanan,”kata Rey.

    Untuk memahami lebih lanjut UU Kepabeanan Pasal 95, maka harus dipahami pasal 17 ayat 3. Karena pada pasal 17 tersebut harus merujuk pada SPKTNP. Jadi tidak ada syarat harus membayar terlebih dahulu, kemudian mengajukan banding. Oleh karena itu, antara pembayaran dan pengajuan banding sebenarnya tidak serta merta menjadi syarat. “Artinya mau mengajukan pembayaran dan banding bisa kapan saja, selama dalam kurun waktu 60 hari,” tegas Rey.

    Rey menerangkan, karena ada perbedaan antara pasal 36 ayat 4 UU PP mengenai syarat 50 persen dan pasal 95 UU Kepabeanan mengenai syarat 100 persen, maka ahli menyarankan kedua norma tersebut tidak boleh diterapkan karena tidak memberikan kepastian hukum karena ada pertentangan hukum satu dan lainnya. Sedangkan Pasal 27 ayat 5 UU KUP mengatur untuk mengajukan banding tidak perlu membayar.

    “Narasinya menyebutkan pembayaran pajak terhutang tertunda dalam pengajuan banding hingga ada keputusan pengadilan pajak. Ini memberikan rasa keadilan. UU KUP Jo UU PP tidak memberikan kepastian. Demi memberikan rasa keadilan maka pembayaran  ditunda hingga sampai putusan,” katanya.

    Sumpah di belakang

    Pemohon mempermasalahkan pengambilan sumpah kepada ahli. Rey mengatakan, ahli dihadirkan namun pengambilan sumpah dilakukan belakangan, dengan alasan tidak adanya rohaniawan di persidangan. Selain itu, ahli pun tidak mendapatkan kursi tersendiri, tapi duduk berdampingan dengan Pemohon. “Ini tidak mencerminkan peradilan. Suatu peradilan harus jelas hukum acaranya, tidak bisa percaya saja, tanpa diambil sumpah,”jelas Rey.

    Pemohon keukeuh agar ahli harus diambil sumpahnya, meski dilakukan belakangan daripada tidak sama sekali. “Kalau tidak disumpah, maka majelis hakim memiliki alasan kuat untuk tidak dimasukkan ke dalam putusan. Artinya, memberikan refleksi Pemohon, Majelis tidak memiliki niat untuk memasukan keterangan ahli. Sehingga majelis seperti berpihak pada Terbanding,”ungkapnya.

    Sementara Majelis Hakim menegaskan akan memuat pendapat ahli dan pengambilan sumpah untuk ahli dilakukan pada persidangan berikutnya. Sidang pun di tutup dan akan dilanjutkan pada tanggal 4 April 2023. (geo)

    Latest Posts

    Don't Miss

    Stay in touch

    To be updated with all the latest news, offers and special announcements.