Indonesia memang bukanlah negara agama tetapi nilai-nilai luhur tentang kedermawanan janganlah diragukan lagi. Kedermawanan rakyat Indonesia setidaknya terakui oleh Charities Aid Foundation (CAF) yang menobatkan peringkat 1 dari 119 negara di dunia dalam World Giving Index 2022. Gotong royong, tolong menolong memang sudah menjadi tradisi rakyat Indonesia dan harus dilestarikan dan dikembangkan.
Dalam lingkup bisnis pun, hampir semua entitas usaha mengeluarkan sebagian dari asetnya untuk berpartisipasi membantu lingkungan sekitar. Perusahaan tentu berharap pengeluaran berupa bantuan, hibah dan sumbangan tersebut dapat dibiayakan. Masyarakat penerimanya, menginginkan donasi tersebut bukanlah objek pajak penghasilan. Kedua kondisi tersebut tentu berpotensi menggerus penerimaan pajak.
Keinginan untuk tetap mempertahankan akar budaya sekaligus mengamankan penerimaan negara dari sektor perpajakan kemudian diatur dalam berbagai kebijakan pemerintah. Salah satu aturan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan 90/PMK.03/2020 (PMK 90/2020) yang merupakan penjelasan dari Peraturan Pemerintah 29 Tahun 2020. Aturan ini melengkapi Peraturan Menteri Keuangan 76/PMK.03/2011 sebagai penjelasan atas Peraturan Pemerintah 93 Tahun 2010. Bagi penerima lebih banyak diatur dengan PMK 90/2020 dan bagi pemberi diatur oleh PMK 76/2011).
Menurut kelaziman filosofis perpajakan, pengeluaran yang tidak ada kaitannya langsung dengan usaha maka tidak boleh dibiayakan. Padahal dalam kondisi nyata sangatlah sulit perusahaan tutup mata tidak berkontribsui terhadap kebutuhan lingkungan sekitarnya. Terdapat banyak pengeluaran yang tidak ada kaitannya langsung dengan kegiatan usaha semisal sumbangan agustusan, keagamaan, kepemudaan maupun infrastruktur.
Pengeluaran tersebut boleh dibiayakan menurut perpajakan apabila menyangkut bencana nasional, penelitian pengembangan, fasilitas pendidikan, pembinaan olah raga, pembangunan infrastruktur sosial dan penanggulangan COVID 19. Sekalipun boleh dibiayakan tetapi bantuan, hibah dan sumbangan tersebut harus juga memenuhi persyaratan.
Pihak Penerima
Indonesia menganut pengertian penghasilan sangat luas dalam perpajakan. Segala tambahan ekonomis yang diterima/diperoleh dari manapun juga di dunia ini dengan bentuk dan nama apapun disebut penghasilan. Penghasilan tersebut dapat digunakan untuk konsumsi sehari-hari maupun menambah investasi. Berpijak pada hal tersebut, bantuan, hibah dan sumbangan dapat dikategorikan sebagai penghasilan bagi si penerima. Pertanyaan berikutnya, apakah penghasilan yang diterima/diperoleh merupakan objek pajak,
Bantuan dan bantuan lazim diberikan karena sebab tertentu semisal bencana, kecelakaan dan kondisi ekonomi. Sebaliknya, hibah bisa saja diberikan tanpa kondisi khusus yang menimpa si penerima. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHAP) Pasal 1666 mengartikannya sebagai suatu perjanjian dimana penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Hal ini berarti hibah hanya terjadi pada orang yang masih hidup.
Bantuan, hibah dan sumbangan berupa uang dan barang diberikan kepada perorangan dan lembaga. Mengacu pada PMK 90/2022 untuk perorangan dibatasi hanya usaha mikro kecil atau pemberian orang tua ke anak (dan sebaliknya). Syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh lembaga penerima tersebut adalah tidak mencari keuntungan.
Persyaratan berikutnya adalah tidak boleh ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pemberi dan penerima. Pengecualian diberikan apabila pihak penerima merupakan badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan.
Syarat Khusus
Agar dapat dibiayakan maka sumbangan yang dilakukan oleh perusahaan haruslah diberikan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh Peraturan Pemerintah. Mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2022 terdapat 241 lembaga Islam, 4 Kristen, 1 Katolik, 6 Budha dan 1 Hindu. Hal ini dapat diartikan penerima bantuan dan sumbangan dari lembaga-lembaga tersebut bukanlah merupakan objek pajak penghasilan.
Pemberian dari orang tua ke anak kandung, juga sebaliknya, bukanlah dianggap penghasilan objek pajak apabila tidak ada hubungan usaha. Penjelasan adanya hubungan usaha apabila terdapat transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak. Transaksi yang terjadi setiap bulan dapat dikategorikan sebagai suatu kegiatan rutin.
Golongan perorangan penerima pemberian bukan sebagai objek pajak lainnya adalah pengusaha yang menjalankan usaha mikro dan kecil produktif sepanjang memiiki kekayaan bersih maksimal Rp. 500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Kekayaan bersih yang dimaksud adalah harta dikurangi dengan hutangnya. Syarat berikutnya memiliki peredaran usaha setahun maksimal Rp. 2.500.000,00
Sebaliknya, apabila seseorang mendapatkan pemberian dari perusahaan tempat dia bekerja maka itu dikategorikan sebagai penghasilan objek pajak. Hal tersebut disebabkan karena adanya hubungan pekerjaan antara keduanya. Senada pula dengan adanya hubungan pemberian jasa dan pelaksanaan kegiatan di antara pemberi dan penerima.
Penutup
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima agar penghasilan yang diterimanya bukan sebagai objek pajak. Dalam prakteknya kegiatan sumbangan, hibah dan sumbangan yang terjadi di masyarakat begitu bervariasi dan luas. Diperlukan pemberian contoh kasus sekaligus sosialisasinya agar di lapangan tidak rancu. Satu hal harus diperhatikan adalah pemerintah mengharapkan segala aktivitas bantuan, hibah dan sumbangan di masyarakat tersebut dapat tercatat oleh lembaga yang terpercaya. Hal ini sangat bermanfaat untuk memperluas basis pemajakan dan memastikan kegiatan sosial di masyarakat tersebut dapat tepat sasaran.
(Teguh Sri W/Penyuluh Pajak di Direktorat Jenderal Pajak)