Friday, June 20, 2025
More

    Latest Posts

    Kupas Tuntas Ketentuan Terbaru Perhitungan PPh Pasal 21 (PP 58 Tahun 2023)

    Siaran Pers – RTD PP 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi

    Indonesiakusatu.com – Pemerintah telah menerbitkan PP 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi pada tanggal 27 Desember 2023 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2024.

    PP 58 Tahun 2023 diterbitkan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU HPP Pajak Penghasilan serta memberikan kemudahan dan kesederhanaan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan kepada Wajib Pajak atas pemotongan pajak Penghasilan Pasal 21 sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap mekanisme pemotongan dan pengenaan pajak penghasilan Pasal 2l. Dalam rangka memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat luas mengenai Latar Belakang terbitnya PP 58 Tahun 2023, Kompartemen Akuntan Perpajakan – Ikatan Akuntan Indonesia (KAPj – IAI) menyelenggarakan Regular Tax Discussion (RTD) yang akan mengulas mengenai Kupas Tuntas Ketentuan Terbaru Perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan PP 58 Tahun 2023.

    Tujuan kupas tuntas ketentuan terbaru tersebut sebagai sarana diskusi ilmiah dan iseminasi mengenai Ketentuan Terbaru Perhitungan PPh Pasal 21 terbaru atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi. Selanjutnya tujuan kupas tuntas adalah sebagai media bagi para akuntan anggota Ikatan Akuntan Indonesia (terutama Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Perpajakan) dan masyarakat umum dalam mendapatkan wawasan mengenai ketentuan terbaru Perhitungan PPh Pasal 21.

    Tema penting di atas menjadi diskusi menarik dalam Reguler Tax Discussion (RTD)  “Kupas Tuntas Ketentuan Terbaru Perhitungan PPh Pasal 21 (PP 58 Tahun 2023)” melalui online via Zoom, Rabu, 24 Januari 2024 mulai dari jam 9.30 sampai dengan 12.00 WIB. Acara RTD PP 58 Tahun 2024 menghadirkan narasumber Bapak Fery Corly, Kepala SubDirektorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh Orang Pribadi I, Bapak Yohan Suharsoyo, Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh I Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak, serta Partner SF Consulting, member of Crowe/Pengurus KAPj IAI, Ibu Ratna Febrina. RTD PP 58 dipandu oleh moderator Bapak Sahata Eddy P Situmorang selaku Pengurus Humas KAPj IAI.

    RTD PP 58 dibuka oleh Ketua IAI Kompartemen Akuntan Perpajakan (KAPj), Prof. Dr. John L. Hutagaol, M. Acc,. M.Ec (Hons.), S.E. Ak, C.A yang juga menjabat sebagai Tenaga Pengkaji Pembinaan dan Penertiban Sumber Daya Manusia, Direktorat Jenderal Pajak.  RTD PP 58 dihadiri oleh pemangku kepentingan perpajakan dengan kehadiran 693 peserta dengan berbagai latar belakang.

    Dalam sambutan pembukanya, Prof John L. Hutagaol menyatakan bahwa RTD dijalankan sejak kompartemen akuntan perpajakan IAI didirikan sejak tahun 2014. RTD merupakan kegiatan strategis dalam sosialisasi pelaksanaan peraturan perpajakan. Untuk tahun 2024 ditargetkan 10 RTD sebagai pelengkap program KAPj IAI lainnya sesuai renstra yang meliputi antara lain International Tax Conference, KAPj goes to campus, pengkajian peraturan perpajakan dengan PSAK serta press release secara rutin. Prof John L. Hutagaol menyatakan kegiatan strategis lainnya untuk memajukan perpajakan dan profesi akuntan Indonesia sehingga akuntan harus menjadi mitra strategis bagi pemangku kepentingan lainnya. “Tujuan PP 58 Tahun 2023 salah satunya adalah untuk kemudahan pelaksanaan kewajiban perpajakan PPh Pasal 21 yang ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan (juklak) melalui PMK 168 Tahun 2023,”kata Prof John L. Hutagaol. PMK 168 Tahun 2023 ini terdiri dari 2 tarif pemotongan yaitu tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a serta tarif efektif rata-rata (TER). TER diperlakukan untuk bulanan dan harian (harian, mingguan, satuan atau borongan). TER harian untuk penghasilan sampai dengan Rp 450 ribu dikenakan tarif 0% dan selanjutnya di atas Rp 450 ribu sampai dengan Rp 2,5 juta dikenakan  0,5%. Sedangkan untuk penghasilan bulanan memperhatikan kondisi awal tahun dengan kategori-kategori TER terdiri dari kategori A (TK/0, TK/1, K/0), kategori B (TK/2, TK/3,K/1, K/2), kategori C (K/3). TER kategori A terdiri dari 44 lapisan dengan tarif dari 0% sampai dengan 34%. TER kategori B terdiri dari 40 lapisan dengan tarif 0% sampai dengan 34%. TER kategori C terdiri dari 41 lapisan dengan tarif 0% sampai dengan 34%. TER dihitung mulai bulan Januari s.d. November, sedangkan untuk bulan Desember dihitung dengan tarif PPh Pasal 17  ayat (1) huruf a UU PPh. Menurut Prof John L. Hutagaol dengan adanya aturan TER PPh Pasal 21 maka akan ada tantangan baru untuk sistem baru untuk diterapkan. IAI menyiapkan pendidikan untuk proses implementasi ketentuan baru tersebut. Pada akhirnya Prof John L. Hutagaol mengatakan semoga RTD ini bermanfaat untuk menjawab tantangan perubahan peraturan perpajakan.

    Selanjutnya acara RTD PP 58 dipandu oleh Bapak Eddy P. Situmorang selaku pengurus KAPj IAI di bidang kehumasan. Pada pembukaanya Bapak Eddy P.  Situmorang menyatakan ada update terbaru petunjuk teknis (juknis) terkait PP 58 yaitu dengan keluarnya aturan e-bupot melalui Keputusan Dirjen Pajak Nomor : PER-2/PJ/2024. RTD ini juga membahas kaitan PP 58 dengan peraturan-peraturan sebelumnya serta aturan-aturan turunannya. Melalui RTD ini diharapkan ada diskusi dengan pembicara dari Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (KP DJP). Sebagai tambahan akan ada view di luar DJP melalui view konsultan atau akuntan. View dari KPDJP disampaikan melalui Pemaparan I oleh Bapak Fery Corly serta Pemaparan II oleh Bapak Yohan Suharsoyo, sedangkan view dari konsultan atau akuntan disampaikan melalui Pemaparan III oleh Ibu Ratna Febrina.

    Pemaparan Materi I, Bapak Fery Corly selaku  Kepala Sub Direktorat Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh dan PPh Orang Pribadi I membuka sejarah konsep TER sudah lama mulai dari tahun 2001. Hal tersebut dilatarbelakangi banyaknya keluhan dari WP berapa pajak yang harus dipotong untuk pegawainya karena belum punya sistem yang baik untuk pemotongan PPh Pasal 21. Karena skenario PPh Pasal 21 sangat rumit sehingga DJP mencoba memudahkan penghitungan dengan menggunakan TER namun dengan tetap memperhatikan pengurangan-pengurangan seperti biaya jabatan dan lainnya. Bapak Ferly menyatakan penggunaan TER  untuk pegawai tetap secara bulanan serta TER pegawai tidak tetap secara harian serta bulanan. “Diharapkan dengan TER ini kepatuhan WP akan meningkat sehingga diharapkan dari DJP lebih mudah untuk melakukan pengawasan karena penghitungan lebih sederhana,” ungkap Bapak Fery. Selanjutnya Bapak Fery menegaskan baru kali ini menggunakan TER untuk PPh Pasal 21 karena memperhatikan Potput lainnya seperti PPh 23 lebih mudah. Namun tidak mengubah penghitungan pajak setahun karena yang diubah hanya penghitungan masa Januari sampai dengan Nopember, sedangkan masa Desember dihitung lagi dengan tarif PPh Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh. “Ini bukan tarif pajak baru dan tidak ada beban pajak tambahan setelah PP 58,”demikian Bapak Fery menegaskan. Aturan perpajakan PP 58 Tahun 2023 selaras dengan PMK 168 Tahun 2023 serta aturan yang baru terbit yaitu PER 02 Tahun 2024. Aplikasi aturan tersebut sudah diupload DJP dalam aplikasi dan masa Januari 2024 sudah bisa memaka e-bupot yang sebelumnya memakai e-spt. Harapannya dengan aturan baru ini dapat membantu karyawan untuk menghitung berapa pajak yang harus dipotong pemberi kerja melalui kalkulator online sehingga ada kontrol berapa pajak yang dipotong pemberi kerja. Poin penting lainnya adalah masuknya zakat dan sumbangan keagamaan lainnya yang sebelumnya tidak bisa dipotong sehingga bisa mengakibatkan Lebih Bayar (LB). Zakat dan sumbangan keagamaan lainnya sepanjang wajib dipotong pemberi kerja bisa diperhitungkan sebagai pengurangan objek PPh Pasal 21 sehingga tidak LB lagi.

    Bapak Sahata sebagai moderator menggarisbawahi penjelasan Bapak Fery dengan poin-poin bahwa pegawai bisa menghitung kewajibannya sendiri secara lebih mudah, e-bupot disiapkan dan diberikan kepada karyawan menjadi pemadanan yang akuntanbel dan transparan sehingga pegawai bisa memastikan apakah benar dipotong PPh Pasal 21 secara benar oleh pemberi kerja.

    Selanjutnya pemaparan materi II melalui Bapak Yohan Suharsoyo selaku  Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh I Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak menyatakan bahwa PMK 168 sebagai juklak dari PP 58 menyoroti kompleksitas PPh Pasal 21 yang bervariasi dengan witholding tax lainnya sehingga menyulitkan WP. “Substansinya adalah sebelumnya single tarif dengan PPh Pasal 17 sehingga variasinya sangat banyak seperti disetahunkan dibagi 12, bonus dihitung sendiri, pemotongnya juga variasinya banyak,  sekarang disederhanakan dengan TER,” demikian pungkas Bapak Yohan. Kajian TER dengan negara-negara lain juga sudah dilakukan seperti di Australia juga terdapat penerapan TER. Sekali lagi ditegaskan bahwa PP ini tidak menimbulkan beban pajak baru karena pada akhir tahun tetap dihitung dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. PMK 168 menegaskan tujuannya aturan ini untuk kemudahan bagi pemberi kerja serta menekan kemungkinan salah hitung, bagi pegawai tercipta transparansi check and balance serta kemudahan membangun sistem administrasi perpajakan. Aspek lainnya aturan ini mendorong WP dipotong dan memotong sehingga timbul kepatuhan sukarela. “Sasarannya untuk mendukung kemudahan berusaha bagi WP (ease of doing business), terciptanya peraturan pajak yang berkeadilan dan berkepastian hukum (legal certainty), penguatan basis sektor perpajakan,”demikian menurut Bapak Yohan. Secara keseluruhan struktur PMK 168 terdiri dari 9 Bab dan 25 Pasal yang dimulai dari ketentuan umum, pemotong pajak dan penerima penghasilan, penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21, DPP PPh Pasal 21, Tarif Pemotongan, Penghitungan PPh Pasal 21 dan atau 26, penghasilan pemotongan bagi pejabat negara, saat terutang dan tatacara pemotongan, serta ketentuan penutup. Tarif PPh Pasal 21 masih dengan tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. Untuk memudahkan cara memandang kriteria TER maka TER bulanan terdiri dari TER A <60 juta, TER B antara 60 juta dan 70 juta, TER C > 70 juta. Kondisi penerapan tergantung dari kondisi status PTKP WP awal tahun. TER harian diterapkan penghasilan bruto sampai dengan 450 ribu dengan TER 0%, penghasilan bruto antara 450 ribu sampai dengan 2,5 juta diterapakan TER 0,5% kali penghasilan bruto, jika di atas 2,5 juta maka diterapkan pajak  50% dikalikan penghasilan bruto dikalikan  tarif Pasal 17 UU PPh. Perubahan-perubahan dari aturan sebelumnya adalah skema penghitungan PPh 21 utk pegawai tetap (untuk masa pajak selain masa pajak terakhir) dan pegawai tidak tetap, peserta yang masih aktif menarik dana pensiun, pengurangan zakat, DTP sinkronisasi dengan natura misal DTP terkait covid. Perubahan lainnya adalah penggabungan bonus dan gaji. Pemotongan natura sinkronisasi dgn PMK 66. Pegawai tidak dibedakan pegawai berkesinambungan atau tidak semua dianggap tidak berkesinambungan. Pemberi kerja tidak wajib memotong PPh Pasal 21 yang tidak ada hubungan kerja seperti servis AC di rumah tidak perlu dipotong karena tidak terkait hubungan kerja. Aturan ini juga menggabungkan PMK mengenai biaya jabatan dan pensiun. Hal yang penting lainnya adalah bantuan, sumbangan hibah dikecualikan. Pengurang penghasilan bruto bukan pegawai. Aturan pemotongan terhadap penghasilan dokter diatur di PMK ini bukan ke PER-16. Aturan ini juga menegaskan hak penerima penghasilan menerima bukti pemotongan. Jika terjadi kelebihan bayar (LB) maka pembetulan boleh dikompensasi ke masa berikutnya. PNS yang bekerja memperoleh penghasilan dari APBN dan APBD harus jelas siapa yang memotong di akhir tahun. Pegawai tetap dan pensiun  diterapkan penghasilan bruto dikalikan TER kecuali masa pajak terakhir. Masa pajak terakhir juga dapat dimisalkan seorang pegawai berhenti kerja di bulan Juli maka di akhir bulan Juli dianggap penghasilannya setahun dan dibulan Juli diterapkan PPh Pasal 17 UU PPh. Komisaris dihitung penghasilan bruto dikalikan TER bulanan dan dianggap penghasilan tidak teratur. Pegawai tidak tetap dengan penghasilan bruto antara 0-2,5 juta TER nya terdiri dari 0% (sampai dengan Rp 450 ribu) dan dan 0,5%  (lebih 450 ribu sampai dengan Rp 2,5 juta), penghasilan bruto di atas Rp 2,5 juta dihitung penghasilan bruto dikalikan 50% dikalikan tarif Pasal 17 UU PPh. Jika dibayarkan bulan untuk pegawai tidak tetap maka penghasilan bruto dikalikan TER bulanan. Bukan pegawai tidak dibedakan statusnya tidak berkesinambungan atau berkesinambungan dengan penghitungan penghasilan bruto dikalikan 50% dikalikan tarif Pasal 17 UU PPh. Peserta kegiatan, program pensiun serta mantan pegawai diterapkan penghitungan penghasilan bruto dikalikan tarif Pasal 17 UU PPh. Bapak Yohan menerangkan simulasi persandingan penghitungan PP 58 dengan peraturan sebelumnya menunjukkan tidak ada selisih PPh Pasal 21. Namun demikian jika ada kelebihan potong di akhir masa, maka pemberi kerja akan memberikan kembali kelebihan tersebut kepada pegawai sehingga pegawai melaporkan nihil di SPT OP nya. Terakhir diuraikan perbandingan TER untuk 10 UMR provinsi tertinggi di tahun 2024 dimana yang tertinggi adalah DKI dengan UMR Rp 5.607.381 yang berarti nihil jika dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan TER.

    Pada kesempatan yang sama, Pemaparan III Partner SF Consulting, member of Crowe/Pengurus KAPj IAI, Ratna Febrina menjelaskan dasar hukum  PMK 168 adalah Pasal 21 UU PPh karena menyatakan akan diatur lebih lanjut oleh PMK. Masa pajak terakhir adalah bulan Desember atau masa pajak di tengah tahun WP berhenti bekerja. Peraturan sebelumnya tidak ada bukti potong bulanan. Sekarang sudah ada bukti potong bulanan meskipun penghasilannya 0 tetap ada bukti potong, sehingga menambah administrasi bagi perusahaan. Ibu Ratna melakukan simulasi-simulasi isu perhitungan dengan TER. TER merupakan estimasi namun PPh Pasal 17 penghitungan sebenarnya menunjukkan dengan TER tarif lebih kecil dari Januari sampai dengan November namun di akhir masa (Desember) TER akan membayar lebih besar dari tarif umum PPh Pasal 17. Hal ini akan menjadi isu bagi ketenagakerjaan seperti di pabrik jika akhir Desember terjadi lonjakan pembayaran. PPh Pasal 21 ditunjang atau di gross up juga menunjukkan hal yang sama terjadi kekurangan pembayaran yang besar di akhir Desember. Simulasi lainnya menunjukkan bahwa bonus dibayarkan di tengah tahun akan mengakibatkan kelebihan bayar di akhir tahun karena unsur gaji bulanan dihitung dengan TER yang meningkat. Allowance yang irregular juga menyebabkan kelebihan bayar. Ibu Ratna juga menambahkan dampak lainnya aturan baru ini adalah terlalu banyak lapisan yang dapat  membuat risiko human error. Di perusahaan akan terjadi perubahan skema payroll dengan TER. Aturan ini juga tidak ada lagi menyebutkan istilah PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) namun yang ada adalah Tunjangan PPh Pasal 21 sehingga akan membuat perubahan kontrak kerja dan peraturan perusahaan. Kelemahan lainnya adalah tidak semua karyawan dapat melakukan pengecekan PPh Pasal 21 untuk masa pajak Desember. Aturan ini juga tidak memberikan kemudahan dalam perusahaan menerapkan metode mix (gross-gross up atau sebaliknya). Misal karena natura sebelumnya tidak ditanggung pajaknya oleh perusahaan sekarang banyak ditanggung perusahaan.  Sepanjang tidak ada sistem bukti potongan gabungan akan menimbulkan banyaknya bukti potong. Isu kerahasiaan (confidentiality) menjadi hilang karena  banyak pegawai dapat mengakses. Isu penghitungan PPh OP KB untuk bukan pegawai menjadi lebih besar karena adanya penghitungan akumulatif tidak berlaku lagi dengan peraturan ini.

    Sesi terakhir RTD ini ditutup dengan sesi tanya jawab. Tanya jawab secara singkat antara lain menjawab bahwa DJP ke depan berbasis web base bukan berbasis desktop. Jasa dokter kenapa dihitung berdasarkan  penghasilan bruto (PER 16 juga begitu) karena penghitungan PPh dokter sudah ada unsur 50% dikalikan penghasilan bruto. Logika penghasilan dokter dibayarkan pasien namun kewenangan memotong ada di rumah sakit atau klinik. E-bupot sudah di launching sejak hari senin tanggal 22 Januari 2024  di djp online,  disana sudah ada aplikasi e-bupot pph pasal 21/26. E-bupot 21/26 untuk masa Januari – November. E-SPT masih dipakai utk masa Desember 2023 ke belakang. Pertanyaan berikutnya terkait konsep deductible dan taxable terkait dengan leasing, menggunakan sisa lebih, serta hibah. Konsep tersebut menurut Ibu Febrina tidak berjalan karena natura tetap objek PPh Pasal 21 meskipun non deductible. Jawaban dari pihak DJP menegaskan hal yang sama bahwa dengan PMK 66 dan PMK 168 tidak bisa dihindarkan objek PPh Pasal 21 atas natura tanpa melihat konsep taxable dan non deductible. Selanjutnya terdapat pertanyaan suami istri hidup Berpisah (HB)  sehingga statusnya TK bagaimana menghitung TER nya? Jawaban DJP, TER nya dihitung masing-masing. Salah satu peserta menanyakan  pegawai mencapai pensiun menarik dana pensiun dikenakan TER kenapa bukan bukan final? Kondisinya jika usia pensiun masih bekerja kenapa harus dikenakan TER sehingga sangat memberatkan WP. Peserta meminta penegasan dari DJP agar adil dalam penerapan aturan perpajakan bagi orang-orang yang masuk usia pensiun. Pihak DJP mempersilahkan peserta untuk mendalami pemotongan PPh Pasal 21 melalui buku cermat memotong PPh Pasal 21 yang ada di web DJP dimana di halaman terakhir ada FAQ.  Akhir kata pihak DJP mengharapkan diskusi-diskusi  ini juga bisa menambah FAQ di DJP.

    Latest Posts

    Don't Miss

    Stay in touch

    To be updated with all the latest news, offers and special announcements.