Indonesiakusatu.com – Apakah masih ada masalah “kasetaraan” dalam pema-jakan? Masih ada, ini salah satunya. Pada umumnya, imbalan atas pekerjaan atau transaksi jasa adalah dalam bentuk uang. Namun, pada praktik-nva bisa dalam “bentuk lain-nya”, bisa berbentuk barang, berupa fasilitas, pelayanan, hak istimewa (privillege) atau hak pemakaian.
Misalnya, selain gaji dan tuniangan bagi sebapian besar pegawainva, perusahaan seringkali menambankan penghasilan lainnya bagi direksi atau level tertentu.
Bentuknva sangat bervariasi, mulai dari fasilitas mobil mewah, apartemen eksklusif, membership golf, bonus berupa saham, dan berbagai bentuk kompensasi khusus lainnya.
Dalam perpajakan, inilah yang disebut “natura Kenikmatan” (fringe benefits),
imbalan tidak dalam bentuk uang (non-cash). Natura adalah imbalan jika berbentuk barang, dan Kenikmatan jika berupa fasilitas. Padahal, prinsipnya sesuai regulasi perpajakan adalah merupakan “tambahan kemampuan ekonomis” bagi Penerimanya, dan seharusnya menjadi objek pajak penghasilan (PPh).
Perbedaan bentuknya menyebabkan beda perlakuan pemajakan. Penghasilan berupa gaji dan tunjangan pegawai umumnya yang berbentuk uang (cash) dikenakan pajak, tetapi atas fasilitas dan kompensasi bagi high-level tertentu tidak dikenakan.
Perajakan yang berbeda sehingga terjadi pengalihan pendapatan dari basis pajak perusahaan ke basis pajak orang pribadi. Hal ini menunjukan bahwa ada upaya dari perusahaan atau individu pemegang saham untuk menghindari atau mengurangi beban pajak yang harus mereka bayar kepada pemerintah (Slemrod dan Gordon, 1998).
Dari perspektif kesetaraan, keadilan perpajakan menuntut agar semua wajib pajak (WP) diperlakukan secara adil dan setara dalam pembayaran pajak. Pemajakan atas natura kenikmatan meniadi isu penting karena WP yang menerma imbalan tersebut tidak membayar PPh. Hal ini bisa dianggap sebagai ketidakadilan karena memiliki beban pajak yang lebih ringan daripada WP lain yang membayar pajak dari gaji tunai.
Berdasarkan UU No. 7/2021 dan Peraturan Menteri Ketiancan NO.66/2023, beleid ini mendasari kewajiban pemotongan sebagai objek PPh sejak 1 Juli 2023. Respons Pemberi dan Penerima sangat beragam. Pengaturan sebelumnya, bukan sebagai objek PPh bagi pegawai sebagai Penerima dan tidak dapat dibiayakan bagi perusahaan sebagai Pemberi.
Dengan beleid ini, mengawali rekonstruksi pengaturan untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan perlakuan PPh. Atas apa? Terhadap biaya (sisi Pemberi) atau penghasilan (sisi Penerima), berupa penggantian atau imbalan, sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, dalam bentuk uang maupun dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, serta untuk menghindari upaya penggerusan basis pajak.
Tiap skema transaksi sebagai dasar pemberian oleh perusahaan (underlying transaction) akan menentukan pemajakannya. Mari kita cermati pokok-pokok pengaturannya. Pertama menjadi kepastian hukum bagi pihak Pemberi yang dapat membiayakannya sepanjang untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (biaya3M). Hal ini tentunya sesuai dengan prinsip matching cost against revenue dalam akuntansi, yaitu memaksimalkan laba dengan seminimalnya biaya sebagai sustainable procedure tiap industri (Mohajan, 2022].
Kedua, menjadi objek PPh bagi pihak Penerima. Hal ini memberikan keadilan
pemajakan dan kesetaraan perlakuan, yaitu pengenaan objek PPh atas suatu jenis
penghasilan tidak memandang perbedaan bentuknya, baik dalam uang maupun selain uang. Ketiga, ada pengecualian sebagai objek PPh. Dalam lampiran beleid diberikan cakupan batasan dan objek yang dikecualikan, yaitu ada 11 jenis berikut contoh-contoh kasus untuk kemudahan analogi transaksi bagi Pemberi sebagai pemotong pajak.
Jenis dan batasan yang dikecualikan sangat mempertimbangkan kepantasan, dengan bertujuan mendorong perusahaan/pemberi kerja untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai, bukan level tertentu saja. Misalnya makan minum untuk seluruh pegawai, bingkisan dalam rangka hari besar keagamaan, atau fasilitas oleh perusahaan yang bersifat “komunal” dengan pemanfaatan secara bersama-sama seperti mes karyawan, asrama, pondokan.
Upaya pengalihan pemajakan tidak selalu ilegal. Beberapa skema tersebut dapat sesuai dengan hukum perpajakan dan dianggap sebagai bagian dari strategi bisnis yang sah. Namun, jika pengalihan pemajakan dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pembayaran pajak yang seharusnya, hal ini dapat dianggap sebagai praktik pajak agresif dan bisa menimbulkan masalah ketidakadilan dalam sistem perpajakan.
Dalih keadilan pemajakan dan untuk menghindari penggerusan basis pemajakan juga harus mempertimbangkan biaya kepatuhan WP dengan aturan pajak yang dapat diadministrasikan, tidak memengaruhi keputusan ekonomi tau produktivitas secara negatif, dan meminimalkan distorsi pajak (Katz dan Mankiw, 1985].
Pentingnya mengatasi isu ketidakadilan pemajakan dan mengevaluasi kembali sistem perpajakan adalah untuk memastikan bahwa beban pajak didistribusikan secara adil, dan sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing individu dan perusahaan.