Indonesiakusatu.com – Pada abad ke enam sebelum masehi, di yunani dikenal suatu slogan baru yang discebut isonomia. Secara harfiah, isonomia terdiri dari dua suku kata isos yang berarti equal dan nomos yang berarti hukum. Sehingga isonomia secara umum dapat diartikan sebagai kesetaraan hukum atau equality before the law (Kreider, 1973). Masa itu, slogan ini begitu terkenal hingga mengubah tatanan politik Yunani yang semula aristokrat merjadi demokrasi.
Dalam perkembangannya, prinsip isonomia diadopsi oleh berbagai negara, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam The Universal Declaration of Human Rights (UDHR), PBB menyampaikan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tapa diskriminasi.
Di Indonesia sendiri, prinsip kesetaraan hukum atau equality before the law diadopsi dalam Pasal 27 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal tersebut mengatur bahwa segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum tersebut tapa adanya pengecualian.
Dalam konteks perpajakan, equality before the law bahkan sudah diterapkan sejak pendaftaran NPWP. Pasal 2 Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) misalnya, mengatur bahwa setiap orang yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri pada kantor pajak.
Ini berarti setiap orang tidak peduli apapun posisi dan jabatannya, wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.
Secara konsisten, prinsip equal before the law ini diaplikasikan oleh pembuat undang-undang dalam proses perpajakan berikutnya. Sebagai contoh, Pasal 3 UU KUP mengatur bahwa setiap wajib pajak wajib mengisi surat pemberitahuan dengan benar, lengkap dan jelas. Hal tersebut membuktikan bahwa negara memandang wajib pajak mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan tanpa terkecuali wajib menyampaikan surat pemberitahuan perpajakannya.
Di lain pihak, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal (Dit-jen) Pajak juga mempunyai hak yang sama untuk melakukan pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan bahwa wajib pajak telah melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Selanjutnya, apabila wajib pajak tidak puas dengan hasil pemeriksaan dari aparat Ditjen Pajak, wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak.
Sampai di sini terlihat komitmen pembuat undang-undang dalam menerapkan prinsip equal before the law dengan menyediakan sarana bagi wajib pajak dalam mencari keadilan melalui proses keberatan pajak. Meskipun, menurut karakteristiknya, proses keberatan pajak di Indonesia dapat dikategorikan sebagai quasi judisial (Handik, 2012).
Quasi judisial adalah proses peradilan yang dilakukan oleh fungsi – fungsi semi judisial yang pembentukannya tidak disebutkan dalam UUD 1945 namun memiliki fungsi dan kewenangan untuk memutus perkara dan putusannya memiliki kekuatan yang sama dengan pengadilan (Risnain, 2014).
Namun demikian, ada yang menarik. Pasal 25 ayat (9) UU KUP mengatur bahwa apabila keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, maka wajib pajak dikenakan denda 30% dari jumlah yang masih harus dibayar. Tetapi, apabila keberatan wajib pajak diterima, maka sanksi sebesar 30% tersebut tidak dikenakan.
Belum Terwujud
Apresiasi yang setinggi-tingginya sepatutnya kita sampaikan kepada pemerintah dan pembuat undang-undang yang telah menurunkan tarif sanksi kenaikan yang semula 60% menjadi 30% dalam ketentuan terbaru. Namun demikian, sedikit banyak pengenaan sanksi administrasi tersebut akan memberikan efek psikologis bagi wajib pajak yang akan mengajukan keberatan untuk memperoleh keadilan. Bagi wajib pajak yang kaya, tentu akan dengan mudah membayar denda tersebut. Tetap tidak bagi wajib pajak yang miskin. Sehingga, kondisi ini menyebabkan equal before the law sulit untuk terwujud.
Padahal, menurut konsiderans huruf C Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, penyelesaian sengketa pajak memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur yang cepat, murah dan sederhana. Sehingga, pengenaan sanksi kenaikan menyebabkan penyelesaian sengketa tidak lagi menjadi murah. Terlebih, jika sengketa pajak sampai ke proses banding dipengadilan pajak.
Bahkari, Darus-salam (2012) berpendapat bahwa tingginya ongkos sengketa pajak dapat meningkat kan risiko korupsi dalam ranah perpajakan. Memang, pemberian sanksi kenaikan tersebut dimaksudkan untuk memberikan efek jera (deterent effect) bagi waiib pajak untuk tidak lagi mengulangi kesalahannya (Yudkin, 1971). Namun, sebaiknya pemberian sanksi tersebut seharusnya dilakukan secara proporsional sesuai dengan kesalahan wajib palak.
Vanistendael (1996) berpendapat bahwa prinsip proporsional merupakan salah satu prinsip yang harus ditegakkan untuk membentuk undang-undang pajak. Lebih lanjut, Vanistendael (1996) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mewujudkan proporsinalitas dalam perpajakan adalah dengan tidak mengenakan pajak secara berlebihan.
Terdapat tiga alternatif solusi yang dapat diambil oleh pembuat undang-undang untuk mewujudkan prinsip equal before the law dalam proses keberatan.
Pertama, pengenaan sanksi administrasi haruslah proporsional sesuai dengan kesalahan wajib pajak. Alternatifnya, pembuat undang-undang dapat membuat sanksi kenaikan dalam beberapa layer sesuai dengan tingkat kesalahan sang wajib pajak.
Kedua, pengenaan sanksi administrasi harus proporsional sesuai dengan pengenaan bunga yang didapat oleh wajib pajak apabila terdapat kelebihan pembayaran.
Sebagaimana diketahui bahwa apabila wajib pajak memenangkan keberatan atau banding dan wajib pajak telah membayar pajak yang tertera dalam surat ke tetapan pajak, maka wajib pajak berhak mendapatkan imbalan bunga sebesar bunga pasar ditambah uplift factor lalu dibagi 12 bulan.
Hal yang sama juga seharusnya diterapkan terhadap wajib pajak yang kalah. Apabila wajib pajak kalah dalam proses keberatan atau tingkat banding, maka denda administrasi seharusnya dikenakan secara proporsional sesuai dengan bunga pasar yang berlaku ditambah uplift factor dibagi dengan 12 bulan.
Ketiga, pemerintah perlu menyediakan Alternative Dispute Resolution (ADR) misalnya dengan adrance agreement dengan wajib pajak. Sehingga, kasus-kasus keberatan yang sifatnya administratif, sering terjadi dan bukan berupa perbedaan penafsiran hukum, dapat diselesaikan dengan cepat dan murah. ‘Thuronyi (2013) berpendapat bahwa ADR penting untuk mengurangi beban administratif pengajuan keberatan di pengadilan pajak.