Wednesday, June 18, 2025
More

    Latest Posts

    Debat Hukum Perppu Cipta Kerja

    Penerbitan Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja yang mulai berlaku 30 Desember 2022 menuai ragam penilaian hukum. Sekalipun Presiden RI menegaskan terbitnya Perppu dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi investor, banyak pihak menyatakan Perppu merupakan pelecehan terhadap putusan Mahmakah Konstitusi.

    Ruang perdebatan lain muncul pada persoalan metode omnibus dalam menyusun UU. Perppu pun dinilai tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation), sehingga dikatakan cacat formil dan mestinya tidak berlaku. Bahkan, unsur ‘kegentingan memaksa’ dari Pasal 22E ayat (1) UUD 45, menjadi ruang perdebatan menarik untuk dikaji. Ragam penilaian hukum terhadap
    Perppu 2/2002 esensinya bukan merupakan penilaian salah atau benar. Ragam penilaiannya harus dikatakan benar semua, jika kita memahami atau memaknai hukum sebagai makna yang tidak tunggal. Dengan kata lain, hukum itu multi logika. Sederhananya dikatakan bahwa ‘hakikat hukum adalah keadilan’, tetapi kerap hukum ditangkap sebagai unit ‘formallegalistik’. Hukum juga bisa dimaknai sebagai proses. Bahkan kerap hukum dimaknai dari bentuk yuridisnya, bukan
    mutunya. Justifikasi hukum ada di segi formal-legalistiknya. Hukum dalam wujud UU sebagai rangkaian proses, hanya satu dari puluhan makna hukum. Kalau begitu, bagiamana selayaknya mendudukkan penilaian hukum terhadap Perppu 2/2022?

    Sasaran Perppu Ketika perdebatan hukum Perppu muncul, ruang diskusinya mesti dilihat pada kacamata hukum dalam multi logika atau multi faset. Jika Perppu dinilai pada makna legal-formal, itu benar. Jikapun dinilai pada sisi keadilan, juga benar. Penilaian pada cermin rasionalitas dan otoritas (Max Weber) juga
    benar. Luasnya penilaian Perppu juga bisa dilihat pada makna hukum sebagai keseimbangan kepentingan (penilaian Roscoe Pound), yang tidak dilihat pada konsep logis-analitis atau teknis-yuridis yang terlampau eksklusif. Tetapi hukum mesti didaratkan di dunia nyata, dunia sosial dengan kebutuhan saling bersaing (Bernard, dkk, 2010). Makna yang disampaikan Pound hendak menjawab konteks ‘law as a tool of social engineering’, menata kepentingankepentingan dalam masyarakat agar tercapai keseimbangan kepentingan. Jika itu yang disasar, terbitnya Perppu 2/2022 sangat bisa dipahami. Karena sangat tidak mudah menata ragam kepentingan hukum dalam masyarakat. Kalau begitu, jika Perppu 2/2022 dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor Putusan MK-91/ PUU XVIII/2020 yang menghendaki perbaikan pembentukan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dilakukan dengan mekanisme pembentukan UU biasa, maka hukum dimaknai sebagai proses pembentukan UU. Ketika pemerintah menjelaskan latar belakang munculnya Perppu 2/2022, aspek ekonomi serta perhitungan rigid, terbaca jelas dalam penjelasan Perppu tersebut. Dampak ekonomi (stagflasi global) serta ketidakpastian (uncertainties) yang didorong kondisi geopolitik, digambarkan jelas sebagai pertimbangan menerbitkan Perppu. Logika hukumnya, apakah ini menjadi dasar ‘kegentingan’ sesuai Pasal 22E ayat (1) UUD 45?

    Pada sisi ini muncul perdebatan makna ‘kegentingan’. Ketika dikatakan Perppu dinilai tidak memenuhi syarat kegentingan dalam konteks korelasi tekanan ekonomi yang berimbas ke ekonomi politik, sangat mungkin itu benar. Tetapi pandangan lain menyatakan diperlukan Perppu untuk menarik banyak investasi dan

    menciptakan lapangan kerja dalam situasi global yang tidak berkepastian yang berimbas pada ekonomi nasional. Apalagi, berbagai kajian dari lembaga seperti IMF, World Bank, ADB, dan OECD terkait dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia
    pada tahun 2023 yang diproyeksikan melambat. Demikian pula kondisi riil yang penulis amati di dunia bisnis nyata sepanjang

    masa pandemi Covid-19 dan berlanjut memasuki tahun 2023. Dari situasi dan kondisi demikian diperlukan gerak cepat pemerintah untuk memberi kepastian hukum dalam tataran Undang-undang dan peraturan implementasinya. Hal itu agar ada kepastian hukum yang berkepastian di lapangan. Dengan adanya

    kepastian maka akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memberikan lapangan kerja seluas-luasnya, dan dapat mengeliminasi tingkat risiko seminim mungkin. Perlu diingat bahwa negara-negara di dunia juga saling bersaing ketat,
    oleh sebab itu tindakan cepat, terukur sangat diperlukan. Lagi-lagi, persoalan hukumnya bukan salah atau benar dari

    penilaian hukum yang muncul ke publik. Penerbitan Perppu 2/2022 menjadi cara pemerintah memaknai hukum sebagai fusi kepentingan, yang dikatakan Jhering, ‘hukum merupakan tatanan hidup bersama yang dianggap sesuai dengan kepentingan nasional’ (Bernard, 2010). Tentu ini menjadi fenomena
    umum untuk semua bangsa dan wajar dijalankan. Boleh jadi ketika Menko Perekonomian RI menyampaikan penjelasan terkait aspek resesi global, peningkatan inflasi, ancaman stagflasi, kondisi geopolitik akibat perang antara
    Rusia dan Ukraina, serta alasan kegentingan lain, keseluruhannya itu dinilai tidak lazim menjadi alasan memenuhi unsur ‘kegentingan’ yang dipikirkan sebagian pihak. Padahal, ukuran aspek ekonomi dan politik yang berdampak pada sisi ekonomi, menjadi mudah dipahami dengan langkah hukum (solusi) menerbitkan Perppu 2/2022. Karena Perppu bisa dimaknai sebagai fusi kepentingan untuk
    pemenuhan tatanan hidup masyarakat secara keseluruhan sebagai kepentingan nasional. Memburu Manfaat Kajian hukum Perppu 2/2022 tidak lepas dari cara berhukum yang dinilai sebagai cara memburu manfaat yang berpacu dengan waktu dan persaingan antarnegara yang semakin tajam. Itupun tidak salah sepanjang ditopang tujuan kepastian (normatif) dan keadilan (filosofis). Namun persoalannya semakin melebar, ketika cara berhukum didominasi cara berpikir politik praktis, yang tidak memiliki kepastian. Makna memburu manfaat sendiri merupakan standar umum kebijakan semua negara supaya masyarakatnya
    sejahtera. Oleh karenanya, kehidupan sosial mesti dibuat agar bisa eksis melawan egoisme pihak yang tidak menginginkannya. Langkah jitunya hanya bisa diusahakan lewat hukum (misalnya Perppu 2/2022) sebagai penyatuan kepentingankepentingan untuk tujuan sama, yakni kemanfaatan. Dengan begitu, debat Perppu 2/2022 adalah debat hukum bukan pada narasi ‘pelecehan’,
    ‘kudeta’, ‘culas’, dan narasi lain yang keseluruhannya tidak tepat. Debat Perppu adalah debat hukum pada tataran hukum pada makna hukum yang tidak tunggal. Hukum itu multi logika. Peminat hukum adalah peminat multi logika sebagai
    dialektika untuk menyelidiki masalah. Kemunculan Perppu diyakini tidak muncul mendadak. Kemunculannya dipastikan merupakan pertentangan dialog panjang dari dua atau lebih kepentingan untuk memunculkan ide hukum yang menjadi
    solusi kepentingan saat ini dan masa mendatang.

    Latest Posts

    Don't Miss

    Stay in touch

    To be updated with all the latest news, offers and special announcements.