Wednesday, June 18, 2025
More

    Latest Posts

    Bahasan Mengatasi Sengketa Perpajakan Secara Efektif

    INDONESIAKUSATU.COM, Jakarta – Seperti yang kita ketahui, sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assessment sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dengan begitu, Wajib Pajak (WP) diberikan kepercayaan sepenuhnya untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri.

    Adapun pengawasan atas penerapan self assessment system yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) salah satunya dengan melakukan serangkaian proses pemeriksaan atas pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan WP. Namun, hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP kerap menimbulkan sengketa pajak berkelanjutan antara WP dan DJP, apabila tidak menemui titik tengah penyelesaiannya.

    Demikian disampaikan Senior Advisor TaxPrime Machfud Sidik dalam webinar Dispute & Litigation: How to Perform an Effective Tax Dispute Resolution, pada Jumat (22/7). Machfud mengatakan, TaxPrime mengadakan webinar ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat—khususnya WP—terkait proses sengketa pajak yang berlaku di Indonesia supaya berjalan secara efektif dan efisien.

    Di kesempatan yang sama, Tax Managing Partner TaxPrime Wawan Setiyo Hartono mengungkapkan, berdasarkan data Kementerian Keuangan RI, berkas sengketa banding yang masuk dan harus diselesaikan pada tingkat Pengadilan Pajak dalam kurun waktu tujuh tahun ke belakang, terbilang cukup banyak mencapai rata-rata lebih dari 10 ribu berkas per tahun.

    Pada umumnya, lanjut Wawan, sengketa material antara DJP dan WP berkaitan dengan perbedaan interpretasi ketentuan perundang-undangan perpajakan, perbedaan perspektif antara ketentuan perpajakan dan standar akuntansi yang berlaku, serta permasalahan yang terkait pembuktian.

    “Dengan demikian, strategi yang baik dalam menyelesaikan sengketa tidaklah cukup, namun diperlukan komunikasi yang efektif, penjelasan komprehensif terkait pokok sengketa, pembuktian, dan pengumpulan alat bukti yang mendukung dan memperkuat posisi WP,” kata Wawan.

    Webinar yang disiarkan secara langsung di akun YouTube TaxPrime ini menghadirkan empat panelis yakni Partner TaxPrime Saut Hotma Hasudungan, TaxPrime Tax Litigation and Dispute Director Mandra Komara, TaxPrime Tax Litigation and Dispute Manager Firman Muttaqien, dan Tax Litigation and Dispute Senior Manager Henny.

    Pada diskusi sesi pertama yang membahas upaya hukum keberatan dan pasal 36 Undang-Undang KUP, Mandra mengemukakan, ada beberapa poin yang patut menjadi perhatian WP saat pengajuan keberatan. Pertama, mengingat jangka waktu pengajuan keberatan yakni tiga bulan sejak surat ketetapan pajak (SKP) dikirim.

    “Jadi kita perhatikan betul, jika kita menerima SKP, jangka waktu itu terpenuhi, ya. Jangan sampai terlewat sehingga tidak memenuhi persyaratan formal untuk pengajuan keberatan,” ungkap Mandra.

    Kedua, surat keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Ketiga, mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan. Keempat, satu surat keberatan disampaikan untuk satu SKP, untuk satu pemotongan pajak, atau untuk satu pemungutan pajak.

    Kelima, WP telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui WP dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum surat keberatan disampaikan.

    “Mengenai penandatanganan, harus pengurus dalam hal Wajib Pajak badan. Kalau memang tidak ditandatangani oleh pengurus dalam hal ini dikuasakan, maka harus disertai dengan surat kuasa khusus. Yang penting mengenai pengajuan keberatan ini, apabila WP mengajukan keberatan, maka tidak boleh mengajukan permohonan sebagaimana (37.59) KUP,” ujarnya.

    Mandra pun mengingatkan adanya beberapa risiko dalam pengajuan keberatan, seperti pengenaan sanksi dan denda administrasi—apabila WP tidak melunasi pajak yang harus dibayar. Adapun nilai risikonya yaitu 30 persen dari jumlah pajak yang harus dibayar sesuai keberatan, dikurangi dengan pajak yang dibayar sebelum pengajuan keberatan.

    “Kalau sudah submit, maka proses selanjutnya di DJP dan di Kanwil (DJP), jangka waktu penyelesaiannya ada 12 bulan, cukup lama untuk WP berdiskusi dengan peneliti keberatan. Maka, kesempatan 12 bulan ini seharusnya bisa kita manfaatkan untuk diskusi, menyampaikan data-data relevan, bukti-bukti yang terkait, mungkin secara yuridis maupun secara pembuktian kita sampaikan pada proses selama 12 bulan ini,” tutur Mandra.

    Firman pun mengamini kalau yang harus diperhatikan dalam pengajuan keberatan adalah pemenuhan persyaratan dan ketentuan formal, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 8 tahun 2013.

    “Jika kita tidak memenuhi persyaratan formal, berarti kita dianggap belum melanjutkan. Yang kedua, terkait timeline seperti kita tahu bahwa permohonan Pasal 36 ini terutama misalkan pembatalan SKP itu ada dua kali permohonan. Setelah permohonan tersebut keluar, keputusan dari peneliti penelaahnya dari DJP, kita harus mempertimbangkan jangka waktunya untuk di-submit kembali karena ada jangka waktu tiga bulan. Nah, itu harus dipertimbangkan betul,” urainya.

    Sebagai konsultan pajak, TaxPrime diklaim Firman selalu memberikan pemahaman sebelum WP mengajukan permohonan keberatan. Selain itu, TaxPrime juga berupaya selalu menjembatani komunikasi antara WP dan DJP dengan baik. “Dengan adanya komunikasi, maka peneliti juga dapat memahami pokok sengketa yang kami ajukan. Dia juga secara komprehensif bisa menganalisis sehingga hasilnya juga akan memuaskan. Itu penting sekali,” ucapnya.

    Saut menambahkan, TaxPrime memiliki 21 advisor yang sebelumnya pernah bekerja di DJP. Karena itu, firma yang didirikan pada 2012 silam ini diklaim selalu menjaga integritas dalam bekerja. Selanjutnya, TaxPrime juga selalu berupaya menyelesaikan sengketa di proses awal alias proses keberatan.

    “Kalau proses keberatan sampai peninjauan kembali itu bisa lebih dari tiga tahun, bukan waktu yang pendek. Ini juga dikaitkan dengan biaya, waktu, tenaga yang harus disediakan untuk membantu kami dalam mendampingi semua proses penyelesaian sengketa perpajakan. Untuk itu, kami selalu berusaha menyelesaikan sengketa perpajakan di level tercepat, yaitu proses keberatan,” ujarnya.

    Pada diskusi sesi kedua tentang upaya hukum lanjutan terkait pengajuan banding, gugatan, dan peninjauan kembali (PK), Henny mengutarakan, PK merupakan langkah upaya hukum terakhir bagi WP dalam proses sengketa setelah proses banding di Pengadilan Pajak yang berlangsung di Mahkamah Agung (MA).

    Lagi-lagi, Henny mengingatkan kalau WP harus benar-benar memenuhi persyaratan formal karena merupakan pintu gerbang dari proses PK. Salah satunya, pengajuan PK sebaiknya ditandatangani oleh pengurus/direksi, atau pegawai yang memiliki surat kuasa dari pengurus perusahaan, atau advokat. Namun, tidak oleh kuasa hukum.

    “Jadi ada beberapa putusan dari MA menyatakan tidak dapat diterima atau cacat formal atas pengajuan PK yang ditandatangani oleh kuasa hukum. Pertimbangan majelis hakim bahwa izin kuasa hukum hanya berlaku di Pengadilan Pajak. Sedangkan, untuk beracara di proses Peninjauan Kembali, maka harus melalui izin dari MA,” jelas Henny.

    Di akhir acara, Managing Director TaxPrime Muhamad Fajar Putranto mengemukakan, WP seyogianya perlu memerhatikan kepatuhannya, karena compliance atau kepatuhan sejatinya adalah jantung dari pencegahan sengketa.

    Berikutnya, baik WP dan konsultan pajak mesti dapat memilah mana yang dapat disengketakan. Hal ini menurut Fajar penting untuk efektivitas dari sisi biaya, waktu, tenaga, kepastian hukum, dan kepastian kewajiban perpajakan ke depannya.

    “Sehingga jika memang perlu diperbaiki atau terdapat kesalahan di internal kita sendiri sebagai WP, maka seharusnya tidak perlu untuk diajukan upaya hukum,” imbuh Fajar.

    Selanjutnya, Fajar juga menilai WP perlu memilih penyelesaian sengketa yang tepat prosesnya, sekaligus memenuhi semua syarat yang diminta berdasarkan ketentuan. Pada ranah materi yang disengketakan, lanjut Fajar, perlu dipastikan telah memakai semua dasar hukum yang relevan dengan materi dan tahun sengketa tersebut.

    “Terkadang, kita dapat menambahkan referensi lain, jadi sebagai ilustrasi tambahan dalam kita mengajukan upaya hukum, dalam surat permohonan. Misalnya, ada case yang bisa kita berikan contoh perlakuan yang sama di negara lain, selanjutnya penjelasan logis lain yang berhubungan dengan objek sengketa, itu jangan ragu-ragu untuk ditambahkan sehingga akan lebih menambah pemahaman,” jelasnya.

    Yang paling utama menurut Fajar adalah pembuktian. “Karena sebaik apa pun surat permohonan sengketa pajak, maka jangan sekali-kali pernah misalnya tidak ada buktinya tapi malah kita sampaikan, itu akan menghabiskan waktu,” tegasnya.

    Fajar pun menganggap DJP dan WP adalah partner sekaligus aset bagi Indonesia sebagai tulang punggung penunjang utama penerima negara, sehingga masing-masing perlu melakukan dan menjaga efektivitas. (“)

    Sumber         : Majalahpajak.net

    Foto               : Istimewa/Majalahpajak.net

    Latest Posts

    Don't Miss

    Stay in touch

    To be updated with all the latest news, offers and special announcements.